Manokwari, papuabarat.kabardaerah.com, Rabu (07 Juli 2021), – Apa kabar Biak Berdarah? Begitu bunyi salah satu pamflet yang dibentang mahasiswa yang berunjuk rasa di Manokwari, Selasa (06-07-2021) petang. Aksi ini nyaris tidak diketahui publik, pasalnya peristiwa 23 tahun silam, seakan-akan hendak dilupakan banyak orang. Apalagi kebanyakan orang yang lahir setelah tahun 2000 dan kaum milenial yang baru melek informasi dunia pada satu dekade setelah peristiwa itu. Beruntung ada kelompok mahasiswa, yang ialah kaum milenial juga, namun giat melawan lupa.
Aksi di petang hari itu, berlangsung cepat. Hanya satu jam, setelah itu para mahasiswa membubarkan diri. Aksi dimulai dengan pembakaran lilin, dilanjutkan dengan orasi dan baca puisi. Salah satu puisi dibacakan Karel Yembise, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, berjudul Enam Juli.
Enam Juli adalah luka yang membusuk Bukan komedi tapi tragedi Hari Permandian Darah Pemberian nama palsu Pusara Tanpa Nama Apa kabar Biak Berdarah? Apa salah ras ini di negeri pertiwi ini? Kekayaan kalian ambil Nyawa pun kalian ambil Seakan mereka lahir ke bumi Hanya untuk disiksa dan dibunuh Pusara Tanpa Nama adalah fakta Bahwa orang Biak di pulau sana belum menemukan kuburan sanak keluarga mereka Siapa yang mesti bertanggung jawab? Siapa? Siapa? Kesedihan yang tidak bisa berhenti Luka yang tidak dapat disembuhkan Kata maaf pun tidak berarti Masalah Papua bukan semata ingin merdeka Tapi sejarah yang dimanipulasi Pelanggaran HAM masa lalu yang tidak pernah diselesaikan Dan penumpahan darah yang terus terjadi hingga saat ini Apa kabar Biak Berdarah? Pusara Tak Bernama Tinggal Nama Tanpa Pusara Enam Juli Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Delapan Enam Juli Dua Ribu Dua Puluh Satu
Karel menjelaskan maksud aksi ini. “Kami mau mengingatkan negara ini untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu dan masa sekarang. Pertumpahan darah masih terjadi di Papua. Saya mohon…” ujar Karel, tampak sedih.
Mahasiswa lainnya membacakan Puisi dengan judul Biak Berdarah 6 Juli 1998.
Biak Dua puluh tiga tahun silam Hukum dihukum di tanahmu Kebenaran membisu Suara keadilan bersenandung pilu Tancapan timah panas di dadamu Oh…oh…Biak Racikan kata-katamu ungkap pelaku Tenggelam di Laut Papua Pembungkaman padamkan api kebenaranmu di Bumi Papua Biakku sayang Ketahuilah Bila langit tak terbatas Pembungkaman tak abadi Bila sehabis hujan ada pelangi Kebenaran dan keadilan segera menyingsing Sambutlah fajar yang merekah Kami alami Biakku Tragedimu dirasakan rakyat Sorong sampai Samarai
Ketua GMNI Cabang Manokwari, Silas Kalasuat, menegaskan kehadiran mahasiswa sebagai social control. “Pemerintah harus berani bertanggung jawab, agar tidak ada lagi konflik di Tanah Papua. Kami sangat sedih, sehingga aksi kami ini dengan satu tujuan, yaitu memberitahu negara bahwa pengorbanan rakyat, penindasan terhadap rakyat Papua harus dihentikan dan dituntaskan secara baik. Pemerintah harus tegas, apa yang dilakukan pemerintah, harus berani juga untuk selesaikan,” tegas Silas.
Selain membakar lilin dan membentang pamflet, mahasiswa juga menyampaikan orasi. Seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Cenderawasih, Rico Wambrauw, berharap kehadiran negara mengatasi masalah yang telah lama terjadi. “Sekitar 150-an warga yang dibantai, dibunuh. Mereka adalah manusia yang tidak bersalah, yang harus dilindungi. Kami sangat sayangkan, sampai sekarang pun negara tidak pernah mengatasi masalah yang terjadi saat itu. Kami harapkan negara bisa turun untuk mengatasi dan mengungkap semua masalah kemanusiaan yang terjadi di Biak,” urai Rico.
Aksi berlangsung tertib, dengan mematuhi protokol kesehatan pencegahan covid-19, dan tak lama kemudian bubar. (fat)
Discussion about this post